Riya’ merupakan perbuatan yang dicela oleh Allah SWT. Orang yang riya’ adalah orang yang memperlihatkan kepada orang lain agar mendapatkan pujian dari mereka. Allah SWT. Berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Maa’uun: 4-6)
Dalam sebuah hadist qudsi disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan satu amal dengan menyekutukan-Ku, maka amal itu akan diberikan kepada sesuatu yang disekutukannya dengan-Ku dan Aku tidak akan memberinya apa-apa.” (HR. Muslim)
Rasulullah SAW pun telah mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap tiga macam riya, yakni:
Riya perkataan.
Riya’ perkataan adalah ujaran yang disampaikan oleh seseorang, baik yang berisi kalimat-kalimat dzikir maupun nasehat-nasehat, yang ditujukan untuk mendapatkan pujian dari orang banyak atau agar dianggap sebagai orang yang bertakwa serta berilmu.
Riya perbuatan
Riya perbuatan adalah menunjukkan kekhusyukannya dalam sholat, atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan.
Riya al-khafiy
Riya’ al-khafiy adalah riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Riya’ yang satu inilah yang paling harus diwaspadai oleh setiap umat muslim karena riya’ jenis ini dapat merusak perbuatan baik umat manusia secara perlahan-lahan tanpa disadari. Mendeteksi riya’ al khafiy lebih sulit daripada mencari semut yang merayap di malam hari.
Untuk itu Rasulullah SAW. menganjurkan agar kita selalu berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepadamu untuk tidak menyekutukan Engkau dengan sesuatu yang aku ketahui dan aku memohon ampun terhadap segala sesuatu yang tidak aku ketahui.
Berikut ini beberapa contoh riya’ tersembunyi (al-khafiy):
- Melakukan ketaatan jika dilihat oleh orang lain.
- Merasa bahagia ketika orang melihat ketaatannya.
- Senang mendengar pujian orang atas ketaatannya. Namun, jika pujjian itu berkurang atau tidak ada, hatinya merasa berat untuk melakukan ketaatan.
- Merasa takut akan hinaan orang, seperti takut dianggap sebagai pengecut di tengah para pemberani. Ia berusaha untuk tetap bertahan di medan perang (bisa juga berlaku di tempat kerja dan tempat belajar mengajar, alit.) hanya agar tidak dicela orang lain.
Orang-orang yang tidak melakukan amal saleh atau ketatan karena takut akan tergelincir dalam riya’ sesungguhnya telah masuk dalam perangkap setan. Siapa pun paham bahwa setan akan terus berusaha memalingkan manusia dari pintu ketatan, baik dengan urusan dunia maupun dengan bisikan, “kita adalah orang yang bertakwa dan wara’, karenanya, jangan berlaku taat kepada Allah dihadapan manusia.”
Ketika berada dihadapan orang banyak, lakukanlah segala sesuatu, semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika tidak ada orang, tingkatkan kualitas ibadah itu. Dengan demikian, kita akan membuat setan murka dan bisikan-bisikannya tidak mempunyai pengaruh.
Siapa saja yang sengaja menunjukkan ketaatannya agar dicontoh orang lain, sesungguhnya, dia tidak dianggap sebagai orang yang berbuat riya’. Bahkan, dia akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda, yakni pahala orang yang berjuang memerangi rasa riya dan pahala orang yang mengajak manusia melakukan ketaatan. (Lakukan saja seperti kita memberikan kado istimewa tanpa nama pada seseorang. Semuanya dilakukan semata-mata karena terdorong rasa ikhlas, alit)
Akan tetapi, dakwah dengan cara tersebut hanya dianjurkan bagi orang yang benar-benar kuat imannya, orang yang sempurna keikhlasannya, dan orang yang tidak membutuhkan pujian manusia. Baginya, pujian atau celaan tidak mempunyai arti, dan tidak akan mempengaruhi ketaatannya kepada Allah SWT.
Orang seperti ini tidak memiliki ketergantungan dengan orang lain ketika akan melakukan suatu amal atau aktivitas ibadah. Ia tidak mempedulikan, apakah manusia akan melihat perbuatannya atau tidak. Ia hanya peduli terhadap penilaian Allah SWT, Tuhannya.
Barangsiapa yang merahasiakan perbuatan dosanya, juga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang riya’. Sebab, Allah SWT pun tidak senang membuka aib manusia. Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang mempunyai aib, hendaknya ia memohon kepada Allah agar aibnya ditutupi.” (HR. Malik)
Barangsiapa yang berniat taat kepada Allah, kemudian ia bergabung dengan sekelompok orang saleh untuk memantapkan niatnya, sehingga ketaatannya bertambah bersama mereka, hal tersebut pun tidak dianggap sebagai bagian dari riya. Bahkan, Allah SWT berfirman,
“...Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa...”(Al-Maa’idah: 2)
Tingkatan Riya’
- Tingkat Pertama
Tingkat riya yang pertama adalah menjadikan pujian orang sebagai tujuan utama dari seluruh amal dan ibadah yang dilakukannya, seperti orang yang hanya akan melaksanakan sholat ketika ia berada di tengah orang-orang yang mendirikan sholat. Namun jika ia berada di tengah-tengah mereka, ia pun tidak akan melaksanakan sholat. Ini merupakan tingkatan riya yang paling buruk. Orang yang melaksanakannya dinilai sebagai orang yang berdosa dihadapan Allah.
- Tingkat Kedua
Tingkatan kedua terjadi pada orang yang memiliki niat riya’ ketika melakukan suatu amal atau ibadah, namun terselip dalam hatinya sedikit keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Karena niat mencari pahala itu begitu lemah, ketika ia sedang sendiri, amal atau ibadah itu pun urung dilakukan. Riya’ dalam tingkatan ini sama buruknya dan sama ganjarannya dengan riya tingkatan pertama.
- Tingkat Ketiga
Pada tingkatan yang ketiga, niat riya dan niat seseorang untuk mendapatkan pahala dari amal atau ibadah yang dilakukannya, sama. Pahala orang yang memiliki niat seperti itu akan terkikis habis karena niat riya’-nya. Dengan demikian, ia tidak akan mendapatkan apa-apa, baik kebaikan maupun keburukan.
- Tingkat Keempat
Tingkatan riya yang keempat dialami oleh orang yang ketaatannya dalam beribadah berkurang ketika dilihat oleh orang lain. Akan tetapi, ketika orang-orang tidak melihatnya, ia tetap melaksanakn ketaatannya itu. Orang seperti ini akan mendapatkan pahala seperti yang diniatkannya. Hanya saja, pahala tersebut tetap akan dikurangi untuk menutupi riya’ yang pernah terbersit di dalam hatinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah berfirman bahwa orang yang paling sempurna adalah orang yang terbatas dari menyekutukan Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Hukum Riya
- Melakukan segala sesuatu bukan karena Allah, dari awal sampai akhir. Orang seperti ini dianggap tidak pernah berbuat kebaikan apa-apa. Bahkan, ia dianggap berdosa dan hanya akan mendapatkan berbagai kesulitan maupun petaka.
- Perbuatan yang diniatkan untuk Allah, namun berubah menjadi riya. Seandainya orang itu berusaha untuk menghilangkan niat riya’-nya dan berhasil, ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala untuk usaha menghilangkan niat riya’-nya dan pahala untuk amal yang dilakukannya. Seandainya ia meneruskan keinginannya untuk riya’, sebagian ulama berpendapat bahwa orang ini tetap mendapatkan pahala. Akan tetapi, pahala tersebut akan gugur karena riya’, dengan anggapan, ia melakukan perbuatan dosa.
- Memulai dan mengakhiri suatu amal karena Allah, tetapi berharap diketahui orang lain. Seandainya ia merasa bangga dan membicarakan amalnya dengan orang lain agar mendapatkan simpati mereka, maka amalnya tidak gugur. Namun, pahala amal itu akan berkurang setiap kali ia membicarakannya, sehingga habislah pahala yang ada. Bahkan, ia akan mendapatkan dosa baru. Karena itu, sebaiknya kita memperbanyak istigfar setiap kali selesai menunaikan suatu amal. Semoga kalimat istigfar yang kita ucapkan dapat menngantikan pahala yang telah berkurang atau hilang ucapan dan perbuatan riya yang kita lakukan.
Seandainya seseorang merasa senang ketika orang lain mengetahui amalnya, jika tidak disengaja atai tidak diniatkan untuk menyombongkan diri, amal itu tidak akan gugur dan pahalanya tidak berkurang sedikitpun. Kebahagiaan-yang dirasakan sebagai kabar gembira dari Allah karena usaha yang dilakukan berhasil-dan penyampainnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya bukanlah riya, karena tidak diniatkan untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Suatu ketika, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau pernah melihat orang yang mengerjakan perbuatan baik, dan dipuji oleh orang-orang?” Pada waktu itu Rasulullah SAW bersabda, “Ya, itulah kabar gembira yang datang dari Allah dengan cepat.” (HR. Muslim)
Cara-Cara Mengobati Penyakit Riya
- Dengan Ilmu
Seseorang yang berbuat riya seharusnya mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit ini dan siksaan yang menunggunya di akhirat nanti. Sebenarnya, riya lahir dari kegamangan seseorang dalam menanggapi respons masyarakat. Kegamangan itu mendorong seseorang untuk emlakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang hidup di sekitarnya. Padahal, keridhaan manusia sangat sulit untuk didapatkan.
Kita dapat melihat bagaimana satu persoalan dapat diterima oleh satu golongan, tetapi tidak oleh golongan yang lain, terlebih lagi opini masyarakat tentang sesuatu, tidak pernah tetap. Hari ini didukung, besok dicela. Ironisnya, inilah kenyataan hidup yang harus kita hadapi sampai sekarang.
Seandainya seseorang telah memahami realitas yang dihadapi, namun masih bersikeras untuk riya, jelaslah bahwa orang tersebut memang senang berbuat riya.
- Dengan Amal
Setiap muslim hendaknya melakukan beberapa langkah konkret untuk mengatasi penyakit riya, seperti di bawah ini:
- Bersungguh-sungguh melatih diri untuk melawan dorongan berbuat riya
- Memohon perlindungan kepada Allah SWT dari sifat riya
- Senantiasa mengingatkan diri sendiri akan akibat buruk sifat riya
- Berusaha menyembunyikan amal dari perhatian orang banyak.
Pada mulanya, hal tersebut memang terasa sangat sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, dengan sedikit kesabaran-meskipun berat- Allah akan memberikan pertolongan untuk mengalahkan sifat tersebut, setiap kali datang menggoda. Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar